
Nusakisa News 14/05/2025 Konflik pembangunan waduk Lambo antara masyarakat Tiga desa belum usai, setelah beberapa waktu yang lalu penolakan terhadap pembangunan strategis nasional berakhir dengan penerimaan terhadap lokasi pembangunan tersebut (dugaan ada pemaksaan kehendak) Hari ini konflik masih berlangsung dilihat dari proses ganti rugi dari lokasi terdampak pembangunan waduk.
Jika kita mau menilai suatu proses komunikasi dalam konsolidasi masyarakat demi kepentingan bersama harus benar-benar diperhatikan terkait kondusifitas sehingga langkah-langkah ke tahap selanjutnya tidak ada polemik baru.
Hari ini konflik yang baru muncul bukan lagi soal lokasi tetapi soal ganti rugi. Bagi saya ini adalah yang paling krusial. Jika pemerintah sebagai penyelenggara negara benar-benar memperhatikan soal kemaslahatan masyarakat dalam konteks pembangunan strategis nasional perlu hati-hati dalam proses pencairan uang ganti rugi tersebut.
Baca Juga : Kapitalisme Ekstraktif dalam Eksploitasi Keindahan Raja Ampat
Beberapa point yang penting adalah, pertama BPN lembaga sebagai penyelenggara negara jangan tergesa-gesa ketika membuat suatu forum musyawarah dan akhirnya masih ada polemik di masyarakat, jika hal itu dilakukan dan ada pro-kontra maka lebih baik di tahan dulu dan segera melakukan musyawarah ulang. Kedua, pemerintah bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi. Ketiga, sebagai masyarakat adat jangan tergiur dengan uang yang sudah menjadi hak kalian, karena uang itu tidak bisa di ganggu gugat lagi, pointnya adalah uang yang sudah menjadi hak kalian. lalu kalian lebih fokus kepada proses pencairan dana tetapi lupa dengan proses musyawarah mufakat internal, melanggar etika dan moral adat sehingga kalian baku klaim siapa yang berkuasa atas tanah itu lalu tanpa melibatkan semua pihak dengan dalil kepentingan bersama kalian melupakan semua hal dan akhirnya terjadi konflik atas kepentingan kelompok.
Saya menilai adanya perbedaan pandangan di internal rendu lalu kemudian dengan kepentingan kelompok tertentu di dalam internal masyarakat dipaksa untuk segera lakukan penunjukan perwakilan dengan dalih kepentingan bersama sehingga melanggar demokrasi dalam ruang masyarakat adat rendu; pertanyaannya kepentingan bersama yang mana kalau akhirnya terjadi perpecahan di dalam tubuh rendu? . Keterlibatan secara menyeluruh dalam musyawarah mufakat tidak berjalan dengan lancar yang akhirnya muncul konflik baru; siapa yang berhak dalam mewakili? Siapa yang berhak dalam menentukan keputusan keputusan penting? Pertanyaan ini muncul dalam proses pencairan dana, sebelum-sebelumnya tidak pernah ada.
Artinya karena uang kita mampu terpecah belah, karena orang luar maupun dari dalam.
Jangan lihat uangnya lihat yang lebih penting “Waka orang rendu” bukan soal uang tapi persatuan kita. Perjuangan Natabhada, kita semua satu, kita semua menderita untuk membela tanah rendu. Tapi hari ini karena tanah yang mendapat ganti rugi dari negara kita saling merendahkan bahkan menghina sesama kita.

Lalu terkait dengan statement Pak Hans Gore (lawyer) yang mengatakan suku rendu tdk memiliki ketua/kepala suku merupakan pernyataan sesat yang dapat merusak tatanan dan hierarki masyarakat adat Rendu serta dapat memecah belah persatuan di internal masyarakat adat Rendu. Berdasarkan fakta sejarah, sejak awal suku Rendu memiliki ketua/kepala (Ada ulu ada Eko)…. Ulu Mosafoa Woe Ebutuza Eko Jogosela Woe Ebuwedho itu turun temurun bukan dipilih dan memilih Kepala suku yang bernama Mosa Fo’a dari Woe Ebutuza yg berwenang untuk mengurus dan mengatur kehidupan masyarakat adat Rendu. Ketua/kepala suku rendu ditentukan secara otomatis berdasarkan garis keturunan Mosafo’a hingga generasi saat ini. Tidak benar jika statement pak Hans Gore yang mengatakan bahwa suku rendu diangkat berdasarkan pemilihan dari tokoh/fungsionaris adat atau secara kolektif kolegial. Bahwa pak Hans Gore tidak berhak dan tdk memiliki kapasitas untuk membicarakan hal yang menimbulkan kontroversi perihal tatanan dan hierarki masyarakat adat Rendu lebih khususnya terkait eksistensi ketua/kepala suku Rendu yg sdh ada sejak rendu ini lahir.
Baca Juga :Gubernur NTT Tinjau Pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo
Maka dari itu saya Christo Maria Sultan Tuzagugu keberatan dengan adanya surat penunjukan langsung untuk mewakili masyarakat adat 3 suku; Isa, Gaja, Redu yang dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 2025 karena masih ada pro dan kontra. Jika ini dibiarkan dan dipaksa maka akan ada potensi perpecahan. Kedua, bukan berarti saya ingin uang itu tidak dicairkan, tetapi saya ingin ketika uang itu dicairkan orang rendu tetap kondusif. Ketiga, pernyataan saya ini bagian dari peran saya untuk keberlangsungan masyarakat adat Rendu walaupun saya tidak berada di tanah Redu. Keempat, saya tidak mewakili pihak manapun dari kedua kelompok yang masih bersih tegang saya hanya lebih kepada soal eksistensi masyarakat Rendu, adat istiadat Rendu, dan nenek moyang orang Rendu.
Cobalah pikirkan baik, ini bukan lagi soal uang, ini soal harga diri. Kita orang Rendu Tanah itu Harga diri jangan sampai karena uang harga diri kita diinjak-injak karena kesenangan semu.
Ingat kepentingan satu yaitu untuk kepentingan bersama jangan sampai karena proses pencairan dana itu kita semua terpecah.
Ditulis Oleh :Christo Maria Sultan Tuzagugu
Pemuda Redu
Editor : Arnoldus Ema